Tuesday, November 23, 2010

Catatan Seekor Pelajar

Kenyataan bahwa hari perayaan Thanksgiving di Negeri Paman Sam dirayakan dengan meriah oleh setiap warga Amerika membawa saya kembali ke waktu-waktu semarak saat perayaan Tujuh Belasan. Meski alasan di balik kedua perayaan sama sekali tidak ada sanggut pautnya dan jauh berbeda, sejauh diri saya dengan Ibu Pertiwi sekarang, ini mengingatkan saya akan Hari Kemerdekaan yang tahun ini saya lewatkan tanpa kehadiran perlombaan kerupuk dan balap karung.
Setiap tahun, tepatnya pada tanggal 17 Agustus Negara kita, Republik Indonesia tercinta, merayakan pesta. Pesta untuk mengenang bagaimana para leluhur kita dengan gagah berani melepaskan diri dari bangsa kolonial yang menjajah bumi pertiwi ini dengan berbagai macam kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Sangatlah tidak berlebihan jika Negara kita dikenal sebagai Zamrud Khatulistiwa. Negara agraris dengan rakyat yang masih berpendidikan rendah di kala itu memang menjadi santapan empuk bagi negara-negara yang sudah lebih mapan dalam hal mencari sesuap nasi untuk makan. Tetapi, toh dengan kegigihan dan persatuan, Bangsa Indonesia akhirnya dapat menjadi Negara merdeka. Mengutip kata Bung Karno, pada akhirnya kita harus dapat berdikari, berdiri di atas kaki sendiri.
65 tahun berlalu. Pesta tetap dilaksanakan setiap tahunnya, berbagai lomba diadakan guna memeriahkan acara, sekolah-sekolah membentuk tim paskibra untuk mengantar Sang Saka berkibar dengan gagah yang disaksikan ratusan pasang mata milik siswa dari sekolah yang bersangkutan, dan berbagai macam acara dibuat agar pesta berjalan dengan baik. Mungkin untuk segelintir orang, pesta kemerdekaan tidak ada bedanya dengan 364 hari lainnya dalam 1 tahun,tapi untuk sebagian besar rakyat Indonesia, pesta kemerdekaan ini adalah saat yang tepat untuk mengesampingkan dahulu berbagai macam ketidakmerdekaan yang dialami. Dengan berpesta, orang dapat  melupakan sejenak kenyataan bahwa dirinya sudah tak berumah akibat penertiban oleh pamong praja, kenyataan bahwa anaknya sudah putus sekolah, atau kebutuhan hidup yang sulit terpenuhi akibat kerasnya badai kehidupan. Pendek kata, itu membantu melupakan pahitnya kenyataan bahwa mereka bukanlah bagian dari segelintir orang yang dapat menikmati kemerdekaan yang dirayakan dengan semarak setiap tahunnya.
Melihat ke belakang, keadaan ini hampir tak berbeda dengan keadaan sebelum pesta kemerdekaan itu mulai dirayakan. Jadi, saya mulai berpikir akan apakah arti sebenarnya kata “merdeka” itu? Dengan ketergantungan impor bahan pangan bagi Negara yang sebagian besar rakyatnya bekerja di bidang pertanian, dapatkah itu disebut merdeka? Atau, tindak KKN yang merajalela di negri ini dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang merdeka? Bagaimana dengan kasus mafia hukum – dari kakap, bandeng, hingga teri- yang sedang naik daun itu bisa dikategorikan sebagai salah satu bukti negara yang sudah merdeka? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “merdeka” adalah bebas (dari perhambaan, penjajahan,dsb) ; berdiri sendiri. Mungkin kini kita lebih tepat mnyebut keadaan ini dengan “berdikariri”, berdiri di atas kaki sendiri sendiri, karena sekarang kita lebih senang berdiri masing – masing tanpa melihat keadaan saudara kita yang sedang duduk, berlutut atau malah jatuh tersungkur meminta uluran tangan agar dapat bangkit berdiri. Arti merdeka adalah bebas dari perhambaan dan penjajahan. Lantas, jika dahulu para leluhur kita begitu sibuk berperang dan mengusir penjajah, kini siapakah yang harus kita usir? Dengan siapa kita harus berperang? Mungkin kini sudah saatnya bagi kita untuk mengintrospeksi diri masing-masing. Seperti yang saya katakan di awal pembicaraan ini, jika dahulu mungkin kekayaan melimpah dengan pendidikan rendah dapat menjadi santapan empuk, sekarang kekayaan melimpah dengan moral rendah pun dapat menjadi santapan yang tak kalah empuknya. Bahkan mungkin, saudara kita dengan darahnya yang juga mengalir di tubuh kita lah yang menikmati hasil yang tak kalah empuk itu. Kita harus bersama-sama berperang dengan ego masing – masing dan lebih mencintai bumi pertiwi ini karena hanya dengan cara itu lah kita dapat membuat pesta kemerdekaan ini menjadi lebih bermakna, bukannya menjadi pesta kemerdekaan hanya untuk melupakan ketidakmerdekaan.

Salam hangat,
 Anak Ibu Pertiwi yang sedang menimba ilmu di negri antah berantah